05/12/12

Pembelajaran Berbasis Masalah


A.      Pengertian Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak akan pernah terlepas dari masalah mulai dari masalah yang sederhana sampai kepada masalah yang kompleks, suatu masalah dipandang sebagai masalah dan merupakan sesuatu yang bersifat relatif artinya suatu persoalan dianggap masalah oleh seseorang, belum tentu masalah bagi orang lain. Shadiq (Supinah dan Susanti, 2010: 9) menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan dengan prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui.
Perhatikan soal-soal berikut.
1.        Wulan mempunyai uang Rp 81.000,00, kemudian uang tersebut dibelanjakan ke toko Luna, Rp 20.000,00 untuk membeli buku, Rp 4.500,00 untuk membeli pensil, dan Rp. 2000,00 dibelikan penghapus, berapakan sisa uang Wulan sekarang?
2.        Uang Luna  uang Wulan. Uang Luna ditambah uang Wulan Rp 81.000, 00. Berapa selisih uang mereka?
Menurut Anda manakah dari kedua soal tersebut yang merupakan masalah? Mengapa? Perhatikan kedua soal tersebut dan cobalah untuk menyelesaikannya terlebih dahulu. Apakah ada perbedaan dalam menyelesaikannya? Untuk soal (1) siswa tentunya akan lebih mudah menyelesaikannya dengan prosedur rutin yang sudah ia kenal sebelumnya. Siswa akan dengan mudah menjawab bahwa sisa uang Wulan sebesar Rp 54.500,00. Bagaimanakah dengan soal (2)? Apakah siswa juga akan mudah menjawabnya? Apakah siswa tertantang untuk menyelesaikannya?
Seperti dinyatakan Cooney, et al. (Supinah dan Susanti, 2010: 9) berikut: “… for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student.”. Dengan demikian, apabila siswa belum mengetahui ‘prosedur rutin’ untuk menyelesaikan soal (2) namun tertantang untuk menyelesaikannya, maka soal tersebut dikategorikan sebagai masalah. Karena itu, dapat terjadi suatu soal mungkin merupakan masalah bagi siswa tertentu, tetapi bukan masalah atau hanya akan menjadi pertanyaan bagi siswa lain karena ia sudah mengetahui prosedur untuk menyelesaikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak setiap soal dapat disebut masalah.
Berkaitan dengan uraian di atas, Sumardiyono (Supinah dan Susanti, 2010:9) mengemukakan bahwa secara umum orang memahami masalah (problem) sebagai kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Dalam matematika, istilah problem terkait erat dengan suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan problem solving atau pemecahan masalah.  Problem atau masalah tidak bisa langsung diketahui cara penyelesaiannya, tetapi lebih memerlukan kreativitas dan originalitas dari seorang pemecah masalah. Secara umum, apabila suatu soal segera dapat diselesaikan begitu melihat soalnya, maka soal tersebut termasuk soal biasa, sedangkan apabila begitu melihat soalnya kita belum bisa langsung menentukan cara penyelesaian, maka soal tersebut termasuk masalah.
Dikemukakan dalam lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006, bahwa pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk soal/masalah yang dibuat/diberikan guru untuk dipecahkan siswa hendaknya bervariasi yang meliputi masalah tertutup dan terbuka. Sebagai contoh, perhatikan kedua soal berikut.
1.        Berapa rata-rata dari 6, 7, 8, 9, dan 10?
2.        Tentukan lima bilangan berbeda yang rata-ratanya 8?
Soal (1) merupakan bentuk soal tertutup karena jawabannya hanya ada satu yaitu 8 atau solusinya tunggal, sedangkan soal (2) merupakan bentuk soal terbuka karena jawabannya beragam lebih dari 1 atau tidak tunggal.

B.       Pengertian Pemecahan Masalah
Krulik dan Rudnick mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu cara
yang dilakukan seseorang dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan
pemahaman untuk memenuhi tuntutan dari situasi yang tidak rutin.
Polya mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah aspek penting dalam intelegensi dan intelegensi adalah anugrah khusus untuk manusia : pemecahan masalah dapat dipahami sebagai karaktersitik utama/penting dari kegiatan manusia yang dapat dipelajari dengan melakukan peniruan dan dicoba langsung.
Gagné berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan masalah diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat dicapai setelah menguasai aturan dan konsep terdefinisi. Demikian pula aturan dan konsep terdefinisi dapat dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman konsep konkrit. Setelah itu untuk memahami konsep konkrit diperlukan keterampilan dalam membedakan. Sehingga dalam memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses yang meminta siswa untuk menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan masalah yang baru. Menurut Goos et.al (Jurnal, 2008: 48), seseorang dianggap sebagai pemecah masalah yang baik jika ia mampu memperhatikan kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi dengan memilih dan menggunakan berbagai strategi alternatif sehingga mampu mengatasi masalah tersebut.
Pentingnya kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika ditegaskan juga oleh Branca (1980) sebagai berikut:
1.        Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum   pengajaran matematika.
2.        Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika .
3.        Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran pemecahan masalah lebih mengutamakan proses dan strategi daripada hasil, sehingga keterampilan proses dan strategi dalam memecahkan masalah menjadi kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Walaupun kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang tidak mudah dicapai, akan tetapi oleh karena kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah ini hendaknya diajarkan kepada siswa pada semua tingkatan. Berdasarkan uraian sebelumnya, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman yang telah dimilikinya.
Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, perlu dikembangkan keterampilan siswa dalam: (1) memahami masalah, (2) membuat model matematika, (3) menyelesaikan masalah, dan (4) menafsirkan solusinya (Permendiknas). Menurut Polya (1973) ada empat langkah penting dalam proses pemecahan masalah, yaitu (1) memahami masalahnya, dalam arti menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan; (2) merencanakan cara penyelesaiannya; (3) melaksanakan rencana; dan (4) menafsirkan atau mengecek hasilnya. Langkah untuk memecahkan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
Soal:
Budi memelihara ikan di kolam belakang rumahnya. Ia memelihara ikan mas dan ikan koi dalam satu kolam. Jumlah seluruh ikan mas dan ikan koi di kolam ada 30 ekor. Jika banyak ikan mas adalah dari banyak ikan koi. Ada berapa ikan mas dalam kolam tersebut?
1.        Memahami masalah
Pada tahap ini, siswa harus dapat menentukan hal-hal atau apa yang diketahui dan hal-hal atau apa yang ditanyakan. Apabila diperlukan, siswa dapat membuat diagram, tabel, sket atau grafiknya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaian.
Diketahui: Jumlah ikan koi dan ikan mas dalam kolam 30 ekor, banyak ikan mas adalah  dari banyak ikan koi.
Ditanyakan: Ada berapa ikan mas dalam kolam tersebut?

2.        Merencanakan cara penyelesaian
Pada tahap ini, siswa dapat menentukan strategi yang sesuai untuk memecahkan masalah tersebut. Dikemukakan Shadiq, strategi pemecahan masalah adalah cara atau metode yang sering digunakan dan sering berhasil pada proses pemecahan masalah. Berikut ini akan diambil contoh cara merencanakan penyelesaian masalah dengan mengambil salah satu strategi pemecahan masalah yaitu strategi menebak dan menguji
Jika Jumlah ikan koi dan ikan mas dalam kolam 30 ekor dan banyak ikan mas adalah dari banyak ikan koi, maka setiap bilangan yang menunjukkan banyak ikan koi apabila dikombinasikan dengan bilangan yang menunjukkan banyak ikan mas jumlahnya 30 dengan ketentuan jumlah ikan mas lebih sedikit dari pada ikan koi.
a.         Jumlah ikan koi dan ikan mas 30 ekor. Andaikan banyak ikan mas 15 ekor, maka banyak ikan koi adalah 30–15=15. Jadi banyak ikan koi adalah 15 ekor (ini bertentangan karena banyak ikan mas kurang dari ikan koi). Jadi ini bukan penyelesaian.
b.        Andaikan banyak ikan mas 14, maka banyak ikan koi adalah 30–14=16. Jadi, banyak ikan koi adalah 16 ekor (ini mungkin karena banyak ikan mas lebih dari ikan koi).
Cek jawaban:
Perbandingan banyak ikan mas dengan koi adalah  atau  (ini tidak sesuai dengan yang diketahui yaitu banyak ikan mas adalah  banyak ikan koi). Jadi banyak ikan mas 14 ekor dan banyak ikan koi 16 ekor bukan suatu penyelesaian.
Hasil tersebut dapat dimasukkan ke dalam tabel supaya lebih jelas dan tertata rapi.
Banyak Ikan Mas
Banyak Ikan Koi
Jumlah
Keterangan
15
15
30
Tidak Mungkin (TM)
14
16
30
Mungkin (M)




3.        Melaksanakan rencana
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan setiap kali mengecek kebenaran di setiap langkah. Untuk melaksanakan rencana dalam menyelesaikan permasalahan di atas, yang dapat dilakukan siswa adalah sebagai berikut.
Berdasarkan rencana di atas, adalah dapat dilaksanakan pengisian tabel kombinasi
bilangan yang mungkin seperti berikut.
Ikan Mas
15
14
13
12
11
10
9
8
...
1
Ikan Koi
15
16
17
18
19
20
21
22
...
29
Jumlah
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
Keterangan
TM
M
M
M
M
M
M
M
M
M

Cek jawaban:
a.         Andaikan banyak ikan mas adalah 14 ekor dan ikan koi 16 ekor, maka perbandingan banyak ikan mas dan ikan koi adalah  atau  (ini tidak sesuai dengan yang diketahui yaitu banyak ikan mas adalah  banyak ikan koi)
b.        Andaikan banyak ikan mas adalah 13 ekor dan ikan koi 17 ekor (tidak mungkin karena kedua bilangan hanya memiliki 1 faktor yang sama yaitu 1)
c.         Andaikan banyak ikan mas adalah 12 ekor dan ikan koi adalah 18 ekor, maka perbandingan banyak ikan mas dan banyak ikan koi adalah  atau  (ini sesuai dengan apa yang diketahui, yaitu banyak ikan mas adalah  banyak ikan koi)
d.        Andaikan banyaknya ikan mas adalah 11 ekor dan ikan koi 19 ekor, maka banyak ikan mas dibanding banyak ikan koi adalah  (ini tidak memenuhi syarat yaitu banyak.ikan mas adalah  banyak ikan koi).
Dari tabel di atas, tampak bahwa apabila banyak ikan mas lebih dari 12 dan
kurang dari 12 tidak memenuhi syarat bahwa banyak ikan mas adalah  dari banyak ikan koi. Jadi, banyak ikan mas dan ikan koi yang memenuhi syarat adalah banyak ikan mas adalah 12 ekor dan banyak ikan koi adalah 18.
4.        Menafsirkan atau mengecek hasil
Pada tahap ini siswa harus memeriksa hasil yang diperoleh. Untuk menafsirkan atau mengecek hasil dalam menyelesaikan permasalahan atau soal di atas, yang dapat dilakukan siswa adalah sebagai berikut.
Berdasarkan tabel dan hasil perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Apabila jumlah ikan koi dan ikan mas dalam kolam 30 ekor, sedangkan banyak ikan mas adalah  dari banyak ikan koi, maka banyak ikan mas=12 dan ikan koi=18 karena 12 =  dari 18.

C.      Pembelajaran Berbasis Masalah
1.        Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Permasalahan yang sering muncul  dalam dunia pendidikan adalah lemahnya kemampuan siswa dalam menggunakan kemampuan berfikir untuk menyelesaikan masalah. Pendidikan harus membekali siswa dengan kemampuan-kemampuan yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapai. Kemampuan tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah.
Berdasarkan hal tersebut, guru perlu merancang pembelajaran yang mampu membangkitkan potensi siswa dalam menggunakan kemampuan berfikir untuk menyelesaikan masalah. Salah satu pendekatan pembelajaran tersebut disebut Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL). Pendekatan pembelajaran ini dipusatkan kepada masalah-masalah yang disajikan oleh guru, dan siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan seluruh pengetahuan dan keterampilan mereka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh.
PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalam pembelajaran secara umum.
PBM merupakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman sehari-hari. Arends (Supinah dan Susanti, 2010: 17) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. PBM adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
PBL utamanya dikembangkan untuk membantu siswa dalam hal-hal berikut.
a.         Mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
Menurut Lauren Resnick (Supinah dan Susanti, 2010: 17) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri: (1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut pandang saja, (3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang kadang-kadang satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, dalam arti tidak segala sesuatu terkait dengan tugas yang telah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir, yang berarti bahwa dalam proses menemukan penyelesaian masalah, tidak diijinkan adanya bantuan orang lain pada setiap tahapan berfikir, (8) melibatkan pencarian makna, dalam arti menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur, (9) menuntut dilakukannya kerja keras, dalam arti diperlukan pengerahan kerja mental besar-besaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
b.        Belajar berbagai peran orang dewasa.
Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa.
c.         Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri.
Pelajar yang otonom dan mandiri tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan oleh guru dengan secara berulang-ulang membimbing dan mendorong serta  mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya.
HS Barrows (Supinah dan Susanti, 2010: 18) menyatakan bahwa proses pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Sementara itu, Moffit (Supinah dan Susanti, 2010:18) mendifinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan yang melibatkan siswa dalam penyelidikan dalam pemecahan masalah yang memadukan ketrampilan dan konsep dari berbagai kandungan area. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat didefinisikan bahwa PBM merupakan pendekatan pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa, di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Selanjutnya, siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru.

2.        Konsep Dasar PBM
Wardhani (Supinah dan Susanti, 2010: 19) mengemukakan PBM mengikuti tiga aliran pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut.
a.         Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL.
b.        Pemikiran Jean Piaget (1886-1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
c.         Pemikiran Lev Vygotsky (1896-1934) dengan Konstruktivismenya, serta Jerome Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang menekankan perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang terjadi melalui penemuan pribadi.

3.        Karakteristik PBM
Pembelajaran Berbasisi Masalah memiliki karakteristik atau ciri-ciri khusus. Terdapat beberapa teori tentang karakteristik PBM. Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, karakteristik PBM adalah sebagai berikut.
a.        Learning is student-centered (pembelajaran berpusat pada siswa)
Pada PBM, siswa menjadi pusat pembelajaran sehingga proses pembelajaran lebih menitikberatkan kepada siswa. Hal ini didukung dengan teori konstruktivisme yang menegaskan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b.        Authentic problems form the organizing focus for learning (bentuk masalah otentik mengorganisir fokus belajar)
Masalah yang disajikan kepada siswa merupakan masalah otentik (sebenarnya). Dengan menyajikan masalah yang sebenarnya, maka siswa lebih mudah memahami masalah tersebut dan dapat menerapkannya dalam kehidupan.
c.         New information is acquired through self-directed learning (informasi baru diperoleh melalui belajar secara langsung)
Dalam pembelajaran, mungkin siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan yang diajarkan. Pada PBM, siswa dibimbing untuk melakukan eksplorasi, berusaha untuk mencari jawaban atau cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya melalui berbagai cara dan sumber.
d.        Learning occurs in small groups (pembelajaran terjadi dalam kelompok kecil)
PBM dilaksanakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas. Dengan pembelajaran dalam kelompok kecil, diharapkan terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaboratif.
e.         Teachers act as facilitators (guru berperan sebagai fasilitator)
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, guru tetap memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai.
Menurut Krajcik et.al, dan Slavin et.al. (Supinah, 2010: 20), ciri-ciri khusus dari PBM, yaitu:
a.         Pengajuan pertanyaan atau masalah
Pertanyaan dan masalah yang diajukan pada awal kegiatan pembelajaran adalah yang secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.
b.        Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Masalah yang diangkat hendaknya dipilih yang benar-benar nyata sehingga dalam pemecahannya siswa dapat meninjaunya dari banyak mata pelajaran.
c.         Penyelidikan autentik
Siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode yang digunakan tergantung pada masalah yang dipelajari.

d.        Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya
Siswa dituntut untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video, program komputer dan sebagainya. Siswa pun dituntut untuk menjelaskan bentuk penyelesaian masalah yang ditemukan. Penjelasan dapat dilakukan dengan presentasi, simulasi, atau peragaan.
e.         Kolaborasi
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang saling berkerja sama secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.
Adapun karakteristik PBM menurut Sovie dan Hughes (Hayanti, 2012), yaitu:
a.         Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
b.        Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa,
c.         Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu,
d.        Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
e.         Menggunakan kelompok kecil, dan
f.         Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).

4.        Langkah-Langkah PBM
Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki lima langkah utama, yaitu:
Tahap
Tingkah Laku Guru
Tahap 1
Orientasi Siswa pada Masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap 2
Mengorganisasi  siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendaptkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Sedangkan langkah-langkah PBM menurut Barret  adalah  sebagai berikut:
a.         Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa)
b.        Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut .
1)        Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan
2)        Mendefinisikan masalah
3)        Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki
4)        Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyeeseikan masalah
5)        Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menyeeseikan masalah
c.         Siswa melakukan kajian secara independen berkaiatan dengan masalah yang harus diseleseikan, mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber diperpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakuakan observasi.
d.        Siswa kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman sejawat dan bekerjasama dalam menyeleseikan masalah.
e.         Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan
f.         Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi  berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaimana peran masing-masing siswa dalam kelompok.
Dan PBM menurut Yongwu Miao disajikan dalam ilustrasi sebagai berikut:
a.        Identifying problem
b.        Identifying learning issues
c.         Setting goal & making plan
d.        Learning knowledge
e.         Applying knowledge
f.          Assessing and reflecting
Dari ketiga tahapan tersebut hampir sama, namun hanya redaksi kalimatnya saja yang berbeda. Peran guru dalam pembelajaran sangatlah penting, meskipun siswa belajar sendiri namun guru sebagai fasilitator, harus memantau aktivitas siswa, memfasilitasi proses belajar dan menstimulasi siswa dengan pertanyaan. 
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan oleh guru dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.         Persiapan
Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point) pembelajaran. Masalah yang dipilih harus penting dan relevan bagi siswa, serta membutuhkan penerapan gagasan atau tindakan yang terkait dengan atau mengarah pada bahan pelajaran.
b.        Orientasi (pengenalan)
1)        Menyajikan masalah di kelas
2)        Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu siswa pada masalah
3)        Memberi kesempatan pada siswa untuk memahami situasi atau maksud masalah.
c.         Eksplorasi (penjelajahan)
Memberi kesempatan pada siswa untuk memecahkan masalah dengan strategi yang diciptakan sendiri oleh siswa. Masalah boleh dipecahkan siswa secara pribadi atau dalam kerjasama dengan siswa lain. Guru memberi dukungan bagi usaha mereka, misalnya dengan menjadi pendengan yang penuh perhatian atau memberi bantuan atau saran yang diperlukan.
d.        Negosiasi (perundingan)
Mendorong siswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses dan hasil pemecahan masalah, sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh komunitas kelas.
e.         Integrasi (pemaduan)
1)        Memandu siswa untuk merefleksikan proses pemecahan masalah
2)        Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pemecahan masalah
3)        Mengkaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tersusun jaringan/organisasi pengetahuan yang baru.
Menurut Barret ada beberapa hal yang harus dikuasai oleh guru agar dalam kegiatan PBM dapat berjalan dengan baik, yaitu :
a.         Harus berpenampilan meyakinkan dan antusias
b.        Tidak memberikan penjelasan saat siswa bekerja
c.         Diam saat siswa bekerja
d.        Menyarankan siswa untuk berbicara dengan siswa lain bukan dengan dirinya
e.         Meyakinkan siswa untuk menyepakati terlebihdahulu tentang pemahaman terhadap permasalahan secara kelompok sebelum siswa bekerja individual.
f.         Memberikan saran pada siswa tentang sumber informasi yang dapat diakses berkaitan dengan permasalahan.
g.        Selalu mengingat hasil pembelajaran yang ingin dicapai.
h.        Mengkondisikan lingkungan atau suasana belajar yang baik untuk kegiatan kelompok
i.          Menjadi diri sendiri atau tampil sesuai dengan gaya sendiri sehingga tidak menampilkan sikap diluar kebiasaan dirinya.
5.        Penilaian pada PBM
Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini dan mencermati tahapan yang harus dilalui siswa dalam belajar dengan model PBL, maka penilaian PBL dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakan secara nyata dan autentik. O’Malley dan Pierce (Supinah, 2010: 31), mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Lebih lanjut dikemukakan tentang penilaian yang relevan antara lain sebagai berikut.
a.         Penilaian kinerja siswa
Pada penilaian kinerja ini, siswa diminta untuk unjuk kerja atau mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti: menulis karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterpretasikan jawaban pada suatu masalah, memainkan suatu lagu, atau melukis suatu gambar.
b.        Portofolio siswa
Portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan siswa yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Penilaian kolaboratif dalam PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (selfassessment) dan peer-assessment. Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh siswa itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai oleh siswa itu sendiri dalam belajar. Peer-assessment adalah penilaian dimana siswa berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya. Portofolio siswa adalah hasil karya siswa yang didokumentasi secara sistematis. Hasil karya yang dapat dimasukkan sebagai portofolio siswa misalnya adalah contoh artefak, artikel jurnal, refleksi yang mewakili apa yang telah dilakukan siswa pada setiap mata pelajaran. Portofolio tidak hanya berfungsi sebagai alat penilaian tetapi juga sebagai alat untuk membantu siswa melakukan refleksi diri tentang apa yang telah dan belum berhasil dipelajarinya.
c.         Penilaian potensi belajar
Penilaian yang diarahkan untuk mengukur potensi belajar siswa, yaitu mengukur kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan bantuan guru atau teman temannya yang lebih maju. Hal itu merupakan pengaruh dari ide Vigostsky tentang ZPD (Zone Proximal Development) atau zona perkembangan terdekat, yaitu bahwa pada dasarnya siswa dapat mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. PBL yang memberi tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan siswa untuk mengembangkan dan mengenali potensi dan kesiapan belajarnya.
d.        Penilaian usaha kelompok
Menilai usaha kelompok seperti yang dilakukan pada pembelajaran kooperatif dapat dilakukan pada PBL. Penilaian usaha kelompok mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya membandingkan siswa dengan temannya.

6.        Kelebihan dan Kekurangan PBM
Setiap pendekatan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, begitupun dengan pembelajaran berbasis masalah. Menurut Trianto kelebihan pembelajaran berbasis masalah, yaitu:
a.         Realistik dengan kehidupan siswa
b.        Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa
c.         Memupuk sifat inquiri siswa
d.        Retensi konsep menjadi kuat
e.         Memupuk kemampuan problem solving
Pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelemahan, yaitu:
a.         Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks
b.        Sulitnya mencari problem yang relevan
c.         Sering terjadi miss-konsepsi
d.        Memerlukan waktu yang cukup panjang.
Selain kelebihan dan kelemahan yang telah dikemukakan oleh Trianto, dalam pelaksanaannya pembelajaran berbasis masalah memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut:
a.         Kelebihan PBM :
1)        Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata.
2)        Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar.
3)        Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu saat itu dipelajari oleh siswa.
4)        Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
5)        Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan baik dari perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi.
6)        Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
7)        Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan.
8)        Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk peer teaching.
b.        Kelemahan PBM :
1)        PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
2)        Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.
3)        PBM biasanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjangkau seluruh konten yang diharapkan walaupun PBM berfokus pada masalah bukan konten materi.
4)        Membutuhkan kemampuan guru yang mampu mendorong kerja siswa dalam kelompok secara efektif.
5)        Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap.

























DAFTAR PUSTAKA


Hayanti, N.D. (2012). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mengukur Penalaran Matematis. [Online]. Tersedia: http://novidwihayanti.blogspot.com/2012/01/pembelajaran-berbasis-masalah-untuk.html [17 September 2012]

Supinah dan Susanti, T. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah Matematika di SD. [Online]. Tersedia: http://www.slideshare.net/NASuprawoto/pembelajaran-berbasis-masalah-matematika-di-sd [17 September 2012]